17 November 2010

Diskriminasi Terhadap ODHA

Positif HIV mungkin akan menjadi kiamat kecil bagi yang mengalami dan atau orang-orang terdekat mereka. Positif HIV cenderung diartikan sebagai vonis mati, seolah masa kematian sudah tinggal menghitung tahun, yang sebagian besar tidak lebih dari 10 tahun. Konselor sangat memegang peranan penting untuk memberikan motivasi bagi mereka sebelum, saat, dan setelah dilakukan tes deteksi HIV, yang biasa disebut VCT. Kelahiran dan kematian sesungguhnya hak mutlak Allah, manusia hanya bisa menghitung berdasar diagnosa-diagnosa medis tetapi keputusan kematian sendiri milik Allah. Tidak ada yg bisa memastikan apakah orang yang positif terinfeksi  HIV pasti lebih dulu meninggal daripada yang tidak terinfeksi HIV.
Positif HIV secara sekilas hampir sama dengan vonis kanker, yang secara hitungan medis mereka seolah menghitung hari. Di perawatan kanker pun ada program konselingnya (paliatif), tetapi ada yang membedakan antara keduanya. Penderita kanker dan keluarga secara psikis lebih bisa menerima keadaan sakitnya sebagai sebuah ujian karena penyebab kanker sampai saat ini belum dapat dipastikan, dan itupun lebih karena perkembangan faal dan fungsi tubuh yang tidak semestinya. Sedikit berbeda dengan kanker serviks (leher rahim) ada kemungkinan karena perilaku seks beresiko (berganti-ganti pasangan atau memiliki pasangan yang suka berganti-ganti pasangan). Sebagian besar wanita yang menderita kanker serviks ini juga tidak terlalu terbuka dengan masyarakat. Begitu pula dengan ODHA, pendampingan kepada mereka secara psikologis lebih rumit, permasalahan mereka bukan semata berkaitan dengan medis saja, tetapi psikologi dan sosial mereka.
ODHA (orang dengan HIV/AIDS) sebagian besar tertutup bahkan ada perda di beberapa daerah yang memberikan sanksi bila membuka status ODHA seseorang pada pihak lain. Mengapa mereka begitu tertutup dan merasa tidak nyaman bila status mereka diketahui banyak orang. Sebagian mereka beralasan bahwa masyarakat akan melakukan diskriminasi perlakuan kepada mereka, seolah masyarakat memberikan stigma bahwa ODHA adalah orang yang harus dijauhi. Apakah Bangsa kita yang cukup ramah dengan ajaran-ajaran agamanya tentang kasih sayang begitu mudah membenci seseorang hanya karena dia ODHA.
Pada tulisan yang pertama, bahwa tidak semua masyarakat termasuk kalangan medis yang mengetahui informasi tentang HIV/AIDS terutama tentang prosedur penanganannya bila ada kasus HIV di lingkungan mereka. Ketidaktahuan masyarakat inilah yang menyebabkan mereka bersikap hati-hati mungkin cenderung paranaoid/ketakutan. Bagaimana dengan sikap ODHA sendiri, apakah mereka cukup membantu untuk memahamkan masyarakat di sekitar mereka agar tidak “ketakutan” bersentuhan dengan mereka. Tulisan berikut ini mungkin akan sedikit melukai teman-teman ODHA, tidak ada niat menjadi bagian dari stigma dan diskriminasi itu sendiri, melainkan mencoba bicara jujur apa yang mungkin menjadi akar permasalahan adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
ODHA berdasarkan cara penularannya dapat dikelompokkan berikut ini; kelompok Homoseksual (gay dan waria), kelompok perilaku seks beresiko (PSK dan konsumennya), kelompok pecandu narkoba dengan penggunaan jarum suntik (IDU), pasangan atau anak  dari orang-orang berperilaku seks beresiko (ibu-ibu dan bayi mereka), dan lain-lain (transfusi darah, jarum tato, dan kelalaian tata cara medis).
ODHA yang penularannya dari pasangannya yang tidak setia, korban tranfusi darah, dan jarum tato jauh lebih terbuka dari ODHA yang penularannya lewat perilaku seks beresiko dan pecandu narkoba. Pengalaman BNK Surabaya saat ada pembicara yang menjelaskan singkatan AIDS dengan arti Akibat Itunya Dipakai Sembarangan, maka dengan berani seorang Ibu positif HIV berteriak protes bahwa dia tertular HIV bukan karena “itunya” dipakai sembarangan melainkan dia tertular dari suaminya. Aktifis HIV/AIDS (maaf lupa nama) di Jakarta yang berani bicara di seminar-seminar besar tanpa tutup muka bahwa dia adalah ODHA, wanita baik-baik yang tertular HIV dari suaminya seorang pecandu narkoba. Apakah masyarakat yang mendengar kesaksian mereka membenci atau menjauh, justru masyarakat kita bersimpati dan berempati kepada mereka, karena sesungguhnya masyarakat kita bukan masyarakat yang tidak memiliki hati. Bagaimana dengan ODHA dari kelompok perilaku seks beresiko dan pecandu narkoba?
ODHA dari kelompok perilaku seks beresiko dan pecandu narkoba inilah yang relatif sangat tertutup, justru dari kelompok mereka inilah terbesar jumlah ODHA. Bila kita mau sedikit merendahkan hati untuk melihat lebih jernih bahwa prasangka-prasangka negatif dan atau diskriminasi masyarakat terhadap ODHA salah satunya adalah dari prasangka negatif dan ketakutan ODHA sendiri. Pengalaman dari salah satu relawan yang positif HIV dari penularan jarum suntik (narkoba) nyatanya saat dia terbuka tidak ada satupun teman yang menjauh, mungkin beberapa teman sempat kaget tapi saat kita belajar sedikit tentang HIV/AIDS, kekagetan itu mencair menjadi dukungan untuk tetap berbahagia. Sampai saat ini mungkin sudah tahun keenamnya dan tetap sehat-sehat saja, begitu juga dengan pergaulan di lingkungan sekitar yang mengenalnya sebagai ODHA tidak pernah memperoleh perlakuan diskriminasi.
Stigma dan juga diskriminasi tidak lebih dari prasangka-prasangka atau ketakutan/paranoid dari masyarakat dan ODHA sendiri. Ketakutan dari  masyarakat juga karena adanya kemungkinan kesalahan saat sosialisasi pencegahan HIV/AIDS bahwa AIDS digambarkan sebagai momok atau hantu menyeramkan yang harus dijauhi, ditangkap masyarakat bukan sekedar virusnya yang dijauhi tetapi orang dengan virusnya yang juga dijauhi. Ketakutan dari masyarakat yang lain adalah ketidakpahaman masyarakat termasuk masyarakat medis perihal penanganan pengidap HIV. Permasalahan ini solusinya pasti adalah memberikan pemahaman dengan benar. Bangsa kita adalah bangsa yang relatif mudah berempati dengan penderitaan orang lain maka bukan hal yang sulit untuk mendapatkan perhatian dan perlakuan yang diharapkan. Permasalahannya apakah teman-teman ODHA cukup berhak untuk mendapatkan perhatian tersebut, seperti kata motivator Mario Teguh bila ingin diperhatikan apakah kita sudah cukup merasa pantas untuk diperhatikan, atau bahasa lain berikan perhatian kepada orang-orang yang memang pantas untuk diperhatikan. Pertanyaannya apakah teman-teman ODHA sudah merasa melakukan sesuatu yang pantas untuk mendapatkan perhatian balik dari masyarakat.
ODHA dari kelompok perilaku seks beresiko dan pecandu narkoba sebagai jumlah yang dominan pada dasarnya memiliki masalah yang lebih kompleks selain masalah HIV itu sendiri. Tanpa status HIV pun mereka sudah kurang mendapatkan simpati dari masyarakat, siapapun tahu apa hukum agama dan nilai-nilai sosial budaya tentang kegiatan prostitusi dan atau seks bebas. Pecandu narkoba IDU pun banyak yang terlibat tindak kriminal dan seks bebas juga. Apakah masyarakat salah bila mereka dianggap aib karena perbuatan mereka dianggap telah menyalahi nilai-nila dan atau merugikan masyarakat. Apakah masyarakat salah bila tidak memberi perhatian kepada mereka karena tidak melihat itikad untuk merubah diri. Bila tidak salah mengutip doa kedamaian teman-teman AA/NA/ODHA, berikan kekuatan untuk menerima yang tidak bisa diubah, berikan kekuatan untuk merubah apa yang bisa diubah, dan berikan kebijaksanaan untuk mampu membedakan keduanya. ODHA diajarkan untuk menerima bahwa status HIV mereka tidak mungkin diubah, tetapi mereka juga diajarkan untuk mengubah banyak hal dari mereka yang bisa diubah.
Apakah mereka sudah berhenti dari ketergantungan narkoba? Apakah mereka sudah berhenti dari perilaku seks beresiko? Apakah mereka sudah merubah gaya hidup sehat mereka, seperti berhenti merokok, berhenti mengkonsumsi minuman beralkohol, mulai berolahraga, dan atau menjaga asupan gizi mereka dengan benar. Apakah mereka juga sudah mengubah nilai-nilai dan orientasi hidup mereka, bila dulu mereka memiliki aturan sendiri apakah mereka sudah cukup mampu menempatkan diri dengan aturan masyarakat dominan. Pecandu narkoba sangat dikenal dengan aturan egosentris mereka, bahasa Betawinya LU LU GUE GUE, bahasa Jawanya SAK KAREPE DEWE, dan bahasa Gaulnya EGP (Emang Gue Pikirin). Bila kita menuntut masyarakat untuk menghargai hak kita, apakah kita sendiri juga sudah menghargai kewajiban kita pada masyarakat.
Mungkin terkesan sederhana soal merokok, sebagai aktifis anti narkoba saya pernah ditegur gara-gara teman yang menemani saya saat presentasi merokok saat menunggu acara dimulai. Kita mengkampanyekan anti narkoba termasuk di dalamnya adalah stop rokok, tetapi dengan terbuka memperlihatkan aktifitas merokok, sebuah ironi. Bagaimana dengan hak ODHA yang mendapatkan ARV (obat menahan perkembangan virus/HIV) secara subsidi dari Negara dan swasta (NGO), dilain pihak berapa rupiah yang mereka ODHA keluarkan secara pribadi untuk mengkonsumsi rokok tiap hari.  Bagaimana logikanya masyarakat (Negara) memberikan subsidi ARV untuk mereka bertahan hidup lebih lama tetapi mereka sendiri menggerogoti tubuh mereka dengan nikotin.
Bagaimanapun bila kita ingin mendapatkan perhatian dan hak kita dipenuhi masyarakat maka seyogyanya kita mengetahui bagaimana menempatkan diri pada masyarakat tersebut. Kelompok gay, waria, PSK, dan juga pecandu sedikit banyak memiliki nilai-nilai yang berbeda dan bertentangan dengan masyarakat dominan. Masyarakat sendiri pun sebenarnya sudah mulai permisif (pemaaf) dengan nilai-nilai yang mereka yakini bila secara individu-individu mereka mampu mengambil hati masyarakat di sekitar mereka, misal masyarakat sudah bisa menerima Dorce dari lelaki menjadi perempuan dan Udje dari pecandu menjadi Ustadz. Bagaimana dengan teman-teman ODHA cukupkah sudah mengambil hati masyarakat.
Gay, waria, PSK, dan juga pecandu di dalam perjalanan hidupnya memang lebih rumit permasalahannya daripada masyarakat umum. Pilihan hidup mereka yang menentang dominasi nilai-nilai yang disepakati masyarakat menjadikan mereka untuk mengambil sikap yang cenderung sensitif dan eksklusif. Secara tanpa sadar mereka membuat batasan sendiri untuk orang di luar mereka masuk. Sebagian dari mereka memilih bersikap menyembunyikan pilihan hidup mereka, untuk melindungi pilihan hidup ini mereka harus terus berbohong dan berbohong agar masyarakat tidak mengetahui siapa mereka di sisi lain. Sebuah resiko dari berbohong adalah sekali berbohong akan terus berbohong, kebohongan bila akan terungkap akan ditutupi dengan kebohongan lain, dan tidak ada kebohongan yang terus tersembunyi. Bila kita selalu berbohong maka bersiaplah untuk kehilangan kepercayaan dari orang-orang yang kita bohongi.
Mengapa seseorang harus berbohong? Mengapa seseorang harus tertutup? Seseorang berbohong sebagian besar menutupi atau menyembunyikan sesuatu yang mungkin diangap  buruk atau bermasalah. Seseorang menjadi tertutup karena merasa orang lain akan menyakiti dirinya.  Apakah kita suka dibohongi? Apakah kita memang selamanya ingin hidup sendiri? Semua adalah pilihan, apakah perjuangan melawan Stigma dan Diskriminasi bisa dilakukan dengan memakai topeng?
Perjuangan melawan stigma dan diskriminasi pada ODHA, apakah mungkin bisa diperjuangkan tanpa menampilkan ODHA sendiri sebagai ujung tombaknya. Peperangan selalu butuh pahlawan, apakah ada ODHA dan atau OHIDHA yang bersedia menjadi pahlawan untuk teman-teman ODHA yang lain. Sudah saatnya ODHA atau OHIDHA yang harus terbuka, terbuka bukan berarti blak-blakan menceritakan masa lalu, terbuka bukan berarti harus testimoni, terbuka bukan berarti membuka aib. Terbuka adalah siap membuktikan bahwa ODHA bukan hantu menyeramkan yang ditakuti masyarakat tetapi manusia baru yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lain, untuk menjalani hidup lebih baik dan memberi manfaat bagi sesama.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan beri komentar sobat di bawah ini!
Komentar sobat akan sangat bermanfaat bagi kemajuan blog ini! :D Jangan lupa follow blog ini juga ;)
Mohon untuk tidak menggunakan nama ANONIM!
No SPAM !!!