21 November 2010

STIGMA DAN DISKRIMINASI TERHADAP ODHA

ODHA atau orang dengan HIV/AIDS merupakan orang yang menderita HIV/AIDS yang secara fisik sama dengan kita yang tidak menderita HIV/AIDS. Mereka pada umumnya memiliki ciri-ciri yang sama seperti orang yang sehat sehingga tidak  dapat diketahui apakah seseorang itu menderita HIV/AIDS atau tidak.
Stigma berhubungan dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat. Pada puncaknya, stigma akan menciptakan ketidaksetaraan sosial. Stigma berurat akar di dalam struktur masyarakat, dan juga dalam norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari. Ini menyebabkan beberapa kelompok menjadi kurang dihargai dan merasa malu, sedangkan kelompok lainnya merasa superior.
Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi para staf rumah sakit yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada Odha, atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV mereka, atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup atau divonis hidup dengan HIV/AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Stigma dan diskriminasi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Terjadi di tengah keluarga, masyarakat, sekolah, tempat peribadatan, tempat kerja, juga tempat layanan hukum dan kesehatan. Orang bisa melakukan diskriminasi baik dalam kapasitas pribadi maupun profesional, sementara  lembaga bisa melakukan diskriminasi melalui kebijakan dan kegiatan mereka.

Selama ini, ODHA memang selalu dikaitkan dengan diskriminasi dan stigma buruk. Stigma beroperasi layaknya penjara. Bukan penjara dalam pengertian fisik yang mengurung narapidana, melainkan penjara dalam relasi sosial.
Di lingkungan masyarakat kita, stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV&AIDS (ODHA) masih banyak terjadi. Contohnya adalah keluarga yang tega mengusir anaknya karena menganggapnya sebagai aib, rumah sakit dan tenaga kesehatan yang menolak untuk menerima ODHA di tempatnya atau menempatkan ODHA di kamar tersendiri karena takut tertular. Ada pula aksi ekstrim masyarakat yang mengkarantina ODHA karena menganggap bahwa HIV&AIDS adalah penyakit kutukan atau hukuman Tuhan bagi orang yang berbuat dosa.
Semua stigma dan diskriminasi ini muncul karena minimnya pengetahuan dan kepedulian kita terhadap HIV&AIDS. Padahal HIV&AIDS kini telah mengancam semua orang, termasuk ibu-ibu rumah tangga maupun bayi-bayi tanpa dosa yang baru lahir.
Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh Odha dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaimana Odha melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa mendorong, dalam beberapa kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak.
Telah begitu banyak stigma dan perlakuan diskriminatif yang ditujukan kepada ODHA. Perlakukan diskriminatif adalah perlakuan tak sama yang diberikan kepada pihak tertentu. Perlakuan diskriminatif terhadap ODHA bisa dari keluarga sendiri, teman dan kerabat, masyarakat sekitar, ataupun pemerintah. Contoh perlakuan diskriminatif yang sering terjadi adalah pengucilan, seperti membedakan perangkat makan di dalam rumah, menjauhi dalam komunitas sosial, tidak memberikan akses yang sama kepada ODHA oleh pemerintah di mana ada rumah sakit yang menolak memeriksa ODHA karena alasan ketidaklengkapan alat pemeriksaan yang menunjang.
Sebagai ODHA, kurangnya dukungan dari lingkungan (dukungan material, informasional, emosional, sosial, atau spiritual) akan membuat kualitas hidup mereka memburuk. Jangankan ODHA, kita yang bukan ODHA saja senantiasa membutuhkan dukungan-dukungan tersebut dari lingkungan. ODHA yang mendapatkan stigma dan diskriminasi di masyarakat tidak akan dapat bergaul, bekerja, dan menjalani hidupnya dengan baik.
Putus asa, depresi, keinginan untuk bunuh diri atau merusak dirinya sendiri dapat menjadi masalah serius. Ini bukan hanya menimpa ODHA, namun juga dapat mempengaruhi keluarga ODHA ataupun orang-orang terdekatnya. Stigma dan diskriminasi membuat ODHA maupun keluarganya merasa takut atau malu untuk mengakui dan mencari bantuan. Mereka tidak mau pergi ke rumah sakit atau mencari informasi lebih lanjut
Kurangnya pemahaman tentang HIV/AIDS mengakibatkan orang yang menderita penyakit ini sering sekali di kucilkan atau sering mendapatkan diskriminasi dari lingkungannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa HIV/AIDS membawa dampak yang cukup signifikan bagi ODHA itu sendiri. Trauma, sikap membisu, suka menghindar, tidak Percaya Diri, merasa jelek, terhina, dan sebagainya adalah beberapa contoh dari apa yang ODHA rasakan.
Kurangnya pahamnya masyarakat tentang HIV/AIDS merupakan salah satu faktor yang menyebabkan diskriminasi terhadap ODHA. Masyarakat hanya mengetahui HIV/AIDS itu merupakan sebatas penyakit  menular dan penderitanya berbahaya. Akan tetapi sebagian besar masyarakat masih belum memahami secara benar faktor penyebaran dan cara penanggulangannya. Adanya ketidakpahaman ini menyebabkan timbulnya sikap over protective terhadap ODHA, seperti diskriminasi dengan tidak mau bergaul dengan ODHA dan stigma bahwa penderita HIV harus dihindari.
Beban penderitaan yang ditanggung ODHA tidaklah ringan. Bukan sekadar penderitaan dari beban penyakit yang menggerogoti tubuh mereka. Perlakuan diskriminatif, justru menimbulkan penderitaan psikologis yang lebih menusuk batin mereka.
Oleh karena itu, idealnya kita tidak mengisolasi ODHA, tetapi harus menyayangi mereka seperti halnya kita menyayangi orang lain pada umumnya. Namun tak dapat dimungkiri, bahwa kebanyakan masyarakat kita masih memiliki stigma negatif terhadap ODHA. Stigma tersebut biasanya berupa sikap dan perlakuan diskriminatif yang ditujukan kepada ODHA.
Mulai dari beragam pencitraan negatif dan hujatan, tidak diterima bekerja di instansi mana pun bila seseorang diketahui sebagai ODHA, terancam dikucilkan dari teman, keluarga dan masyarakat, desakan agar ODHA dikarantina, hingga ancaman fisik seperti diusir dan disingkirkan dari tempat tinggalnya.
Padahal, dengan menghujat, mengisolasi dan atau mengasingkan ODHA, maka secara tak langsung kita memberi beban ganda (double burden) pada mereka. Artinya, di satu sisi, secara fisik mereka kian rapuh, lemah, dan sulit berbuat. Sementara di sisi lain ODHA harus menanggung beban psikologis yang amat berat akibat beragam serangan sosial dan mental dengan adanya isolasi, stigmatisasi-pencitraan negatif, diskriminasi, cacian, cibiran, dan lain sebagainya.
Bahkan, tak jarang penderita HIV/AIDS dicap sebagai orang yang kotor karena telah melanggar aturan, tidak taat beragama, orang-orang yang "dikutuk" Tuhan dan pendapat lainnya yang relatif sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Bagi mereka yang masih berpikiran sempit dalam memandang ODHA, sudah saatnyalah kini kejernihan pikiran kembali dibuka. Jangan lagi ada pandangan penularan HIV/AIDS dikaitkan dengan kebobrokan moral, dan perilaku sosial, seperti seks bebas, penggunaan narkoba, dan berbagai bentuk kemaksiatan lainnya.
Buang jauh-jauh prasangka buruk terhadap ODHA yang barangkali tidak seberuntung mereka yang negatif HIV. Karena prasangka buruk akan melahirkan konflik dan ketidakadilan. Dengan kata lain, cara pandang dan ekspresi salah tidak hanya melahirkan hal negatif bagi dirinya sendiri, tapi juga bagi sesama manusia lainnya.
Seharusnya, ODHA memang harus diperlakukan selayaknya masyarakat umum. Mereka juga manusia biasa yang tentunya ingin hidup wajar dalam pergaulan dan tidak ada diskriminasi karena masyarakat ketakutan tertular HIV.
Kini, sudah saatnya kita mengubah paradigma salah kaprah yang telah lama berkembang di tengah masyarakat bahwa ODHA adalah "orang kotor", berbahaya, hingga harus dijauhi. Kita memang harus selalu waspada dan memiliki ketakutan akan tertular HIV/AIDS. Namun, bukan berarti kita lalu membenarkan adanya perlakuan diskriminasi dan stigmatisasi yang berlebihan terhadap ODHA.
Realitas HIV/AIDS senyatanya telah mewajibkan kita untuk mau membuka mata, telinga, dan tangan kita terhadap para penderitanya dengan cara memberikan simpati, rasa solidaritas, motivasi serta dukungan nyata baik moral maupun material agar mereka tetap tegar, tetap bisa tegak melangkah, dan selalu optimis dalam menjalani hidup.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan beri komentar sobat di bawah ini!
Komentar sobat akan sangat bermanfaat bagi kemajuan blog ini! :D Jangan lupa follow blog ini juga ;)
Mohon untuk tidak menggunakan nama ANONIM!
No SPAM !!!