14 April 2015

Frozen Shoulder


1.      Definisi Frozen Shoulder
Istilah frozen shouder hanya digunakan untuk penyakait yang sudah diketahui dengan baik yang ditandai dengan nyeri dan kekakuan progresif bahu yang berlangsung 18 bulan. Proses peradangan dari tendonitis kronis tapi perubahan-perubahan peradangan kemudian menyebar melibatkan seluruh cuff dan capsul (Appley, 1993).
Selama peradangan berkurang jaringan berkontraksi kapsul menempel pada kaput humeri dan guset sinovial intra artikuler dapat hilang dengan perlengketan. Frozen merupakan kelanjutan lesi rotator cuff, karena degenerasi yang progresif. Jika berkangsung lama otot rotator akan tertarik serta memperlengketan serta memperlihatkan tnada-tanda penipisan dan fibrotisasi. Keadaan lebih lanjut, proses degenerasi diikuti erosi tuberculum humeri yang akan menekan tendon bicep dan bursa subacromialis sehingga terjadi penebalan dinding bursa. Frozen shoulder dapat pula terjadi karena ada penimbunan kristal kalsium fosfat dan karbonat pada rotator cuff. Garam ini tertimbun dalam tendon, ligamen, kapsul serta dinding pembuluh darah. Penimbunan pertama kali ditemukan pada tendon lalu kepermukaan dan menyebar keruang bawah bursa subdeltoid sehingga terjadi rardang bursa, terjadi berulang-ulang karena tekiri terus-menerus menyebabkan penebalan dinding bursa, pengentalan cairan bursa, perlengketandinding dasar dengan bursa sehingga timbul pericapsulitis adhesive akhirnya terjadi frozen shoulder (Mayo, 2007).
 
Frozen shoulder dibagi 2 Klasifikasi, yaitu : 
a.   Primer/ idiopetik frozen shoulder
Yaitu frozen yang tidak diketahui penyebabnya. Frozen shoulder lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dan biasanya terjadi usia lebih dari 41 tahun. Biasanya terjadi pada lengan yang tidak digunakan dan lebih memungkinkan terjadi pada orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan gerakan bahu yang lama dan berulang.
b    Sekunder frozen shoulder
Yaitu frozen yang diikuti trauma yang berarati pada bahu misal fraktur, dislokasi, luka baker yang berat, meskipun cedera ini mungkin sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya.

2.      Anatomi Fungsional Sendi Bahu (Shoulder Joint)
Secara anatomi sendi bahu merupakan sendi peluru (ball and socket joint) yang terdiri atas bonggol sendi dan mangkuk sendi, gambar 2. 2. Cavitas sendi bahu sangat dangkal, sehingga memungkinkan seseorang dapat menggerakkan lengannya secara leluasa dan melaksanakan aktifitas sehari-hari. Namun struktur yang demikian akan menimbulkan ketidakstabilan sendi bahu dan ketidakstabilan ini sering menimbulkan gangguan pada bahu.
Sendi bahu merupakan sendi yang komplek pada tubuh manusia dibentuk oleh tulang-tulang yaitu : scapula (shoulder blade),clavicula (collar bone), humerus (upper arm bone), dan sternum. Daerah persendian bahu mencakup empat sendi, yaitu sendi sternoclavicular, sendi glenohumeral, sendi acromioclavicular, sendi scapulothoracal. Empat sendi tersebut bekerjasama secara secara sinkron. Pada sendi glenohumeralsangat luas lingkup geraknya karena caput humeri tidak masuk ke dalam mangkok karena fossa glenoidalis dangkal (Sidharta, 1984).
Berbeda dngan cara berpikir murni anatomis tentang gelang bahu, maka bila dipandang dari sudut klinis praktis gelang bahu ada 5 fungsi persendian yang kompleks, yaitu:
a.      Sendi Glenohumerale
Sendi glenohumeral dibentuk oleh caput humeri yang bulat dan cavitas glenoidalisscapula yang dangkal dan berbentuk buah per. Permukaan sendi meliputi oleh rawan hyaline, dan cavitas glenoidalis diperdalam oleh adanya labrum glenoidale (Snell, 1997).
Dibentuk oleh caput humerrus dengan cavitas glenoidalisscapulae, yang diperluas dengan adanya cartilago pada tepi cavitas glenoidalis, sehingga rongga sendi menjadi lebih dalam. Kapsul sendi longgar sehingga memungkinkan gerakan dengan jarak gerak yang lebih luas. Proteksi terhadap sendi tersebut diselenggarakan oleh acromion, procecus coracoideus, dan ligamen-ligamen. Tegangan otot diperlukan untuk mempertahankan agar caput humerus selalu dipelihara pada cavitas glenoidalisnya.
Ligamen-ligamen yang memperkuat sendi glenohumeral antara lain ligamenglenoidalis, ligamenhumeral tranversum, ligamencoraco humeral dan ligamencoracoacromiale, serta kapsul sendi melekat pada cavitas glenoidalis dan collum anatomicum humeri (Snell, 1997).
     Ligament yang memperkuat antara lain:
1)      ligamentumcoraco humerale, yang membentang dari procesus coracoideus sampai tuberculum humeri.
2)      ligament coracoacromiale, yang membemtang dari procesus coracoideus sampai acromion.
3)      ligament glenohumerale, yang membentang dari tepi cavitas glenoidalis ke colum anatobicum, dan ada 3 buah yaitu:
a)      ligament gleno humerale superior, yang melewati articulatio sebelah cranial
b)      Ligament glenohumeralis medius, yang melewati articulatio sebelah ventral.
c)      Ligamentum gleno humeralis inferius, yang melewati articulation sebelah inferius.
     Bursa-bursa yang ada pada shoulder joint:
1)      Bursa otot latisimus dorsi, terletak pada tendon otot teres mayor dan tendon latisimus dorsi.
2)      Bursa infra spinatus, terdapat pada tendon infra spinatus dan tuberositashumeri.
3)      Bursa otot pectoralis mayor, terletak pada sebelah depan insersio otot pectoralis mayor.
4)      Bursa subdeltoideus, terdapat diatas tuberositas mayus humeri dibawah otot deltoideus.
5)      Bursa ligament coraco clavikularis, terletak diatas ligamentum coracoclaviculare.
6)      Bursa otot subscapularis terletak diantar sisi glenoidalis scapulae dengan otot subscapularis.
7)      Bursa subcutanea acromialis, terletak diatas acromion dibawah kulit
Ada dua tipe dasar gerakan tulang atau osteokinematika pada sendi glenoidal yaitu rotasi atau gerakan berputar pada suatu aksis dan translasi merupakan gerakan menurut garis lurus dan kedua gerakan tersebut akan menghasilkan gerakan tertentu dalam sendi atau permukaan sendi yang disebut gerakan artrokinematika.Rotasi tulang atau gerakan fisiologis akan menghasilkan gerakan roll-gliding di dalam sendi dan translasi tulang menghasilkan gerakan gliding, traction ataupun compression dalam sendi yang termasuk dalam joint play movement (Mudatsir, 2002).
Ada dua tipe dasar gerakan tulang atau osteokinematika adalah rotasi atau gerakan berputar pada suatu aksis dan translasi merupakan gerakan menurut garis lurus dan kedua gerakan tersebut akan menghasilkan gerakan tertentu dalam sendi atau permukaan sendi yang disebut gerakan artrokinematika. Rotasi tulang atau gerakan fisiologis akan menghasilkan gerakan roll-gliding di dalam sendi dan translasi tulang menghasilkan gerakan gliding, traction ataupun compression dalam sendi yang termasuk dalam joint play movement (Mudatsir, 2002).
Gerakan arthrokinematika pada sendi gleno humeralyaitu : (1) gerakan fleksi terjadi rollingcaput humeri ke anterior, sliding ke posterior (2) gerakan abduksi terjadi rollingcaput humeri ke cranio posterior, sliding ke caudo ventral (3) gerakan eksternal rotasi terjadi rollingcaput humeri ke dorso lateral, sliding ke ventro medial (4) gerakan internal rotasi terjadi rollingcaput humeri ke ventro medial dan sliding ke dorso lateral (Kapanji, 1982).

b.      Sendi sterno claviculare
Dibentuk oleh extremitas glenoidalis clavikula, dengan incisura clavicularis sterni. Menurut bentuknya termasuk articulation sellaris, tetapi fungsionalnya glubiodea. Diantar kedua facies articularisnya ada suatu discus articularis sehingga lebih  dapat menyesuikan kedua facies articularisnya dan sebagai cavum srticulare. Capsula articularis luas,sehingga kemungkinan gerakan luas.
     Ligamentum yang memperkuat:
1)      ligamentum interclaviculare, yang membentang diantara medial extremitassternalis, lewat sebelah cranial incisura jugularis sterni.
2)      ligamentum costoclaviculare, yang membentang diantara costae pertama sampai permukaan bawah clavicula.
3)      ligamentum sterno claviculare, yang membentang dari bagian tepi caudal incisura clavicularis sterni, kebagian cranial extremitas sternalis claviculare.
Gerak osteokinematika yang terjadi adalah gerak elevasi 45° dan gerak depresi 70°, serta protraksi 30° dan retraksi 30°. Sedangkan gerak osteokinematikanya meliputi: (1) gerak protraksi terjadi roll clavicula kearah ventral dan slide kearah ventral, (2) gerak retraksi terjadi roll clavicula kerah dorsal dan slide kearah dorsal, (3) gerak elevasi terjadi roll kearah cranial dan slide kearah caudal, gerak fleksi shoulder 10° (sampai fleksi 90°) terjadi gerak elevasi berkisasr 4°, (4) gerak depresi terjadi roll ke arah caudal dan slide clavicula kearah cranial.
c.       Sendi acromioclaviculare
Dibentuk oleh extremitas acromialisclavicula dengan tepi medial dari acromion scapulae. Facies articularisnya kecil dan rata dan dilapisi oleh fibro cartilago. Diantara facies articularis ada discus artucularis. Secara morfologis termasuk ariculatio ellipsoidea, karena facies articularisnya sempit, dengan ligamentum yang longgar.
 Ligamentum yang memperkuatnya:
1)      ligamentacromio claiculare, yamg membentang antara acromion dataran ventral sampai dataran caudal clavicula.
2)      ligament coraco clavicuculare, terdiri dari 2 ligament yaitu:
a)      Ligamentum conoideum, yang membentang antara dataran medial procecuscoracoideus sampai dataran caudal claviculare.
b)      Ligamentum trapezoideus, yang membentang dari dataran lateral procecuscoraoideus sampai dataran bawah clavicuare,
Gerak osteokinematika sendi acromio clavicularis selalu berkaitan dengan gerak pada sendi scapulothoracalis saat elevasi diatas kepala maka terjadi rotasi clavicula mengitari sumbu panjangnya. Rotasi ini menyebabkan elevasi clavicula, elevasi tersebut pada sendi sterno clavicularis kemudian 30% berikutnya pada rotasi clavicula.
d.      Sendi subacromiale
Sendi subacromiale berada diantara arcus acromioclaviculare yang berada di sebelah cranial dari caput serta tuberositas humeri yang ada di sebeleh caudal, dangan bursa subacromiale yang besar bertindak sebagai rongga sendi.
e.       Sendi scapulo thoracic
Sendi scapulo thoracic bukan sendi yang sebenarnya, hanya berupa pergerakan scapula terhadap dinding thorax [(Sri surini, dkk),2002].
Gerak osteokinematika sendi ini meliputi gerakan kerah medial lateral yang dalam klinis disebut down ward-up wardrotasi juga gerak kerah cranial-caudal yang dikenal dengan gerak elevasi-depresi.
Join play movement adalah istilah yang digunakan pada Manipulative therapy untuk menggambarkan apa yang terjadi didalam sendi ketika dilakukan gerakan translasi, gerakan-gerakan tersebut dilakukan secara pasif oleh terapis pada saat pemeriksaan maupun terapi. Ada 3 macam joint play movement: (1). Traction/ traksi, (2). Compression/ kompresi, (3). Gliding.
1)      Gliding
Gliding yaitu gerakan permukaan sendi dimana hanya ada satu titik kontak pada satu permukaan sendi yang selalu kontak dengan titik kontak yang baru (selalu berubah) pada permukaan sendi laannya. Arah gliding permukaan sendi sesuai dengan hukum konkaf konvek yaitu : jika permukaan sendi konkaf, maka arah gliding berlawanan dengan gerakan tulang. Sedangkan bila permukaan sendi konvek maka arah gliding searah dengan gerakan tulang. Untuk sendi bahu arah gliding berlawanan dengan arah gerakan tulang, karena pertmukaan sendi konfek bergerak peda permukaan sendi konkaf (caput humei dengan cavitas glenoidal).
2)      Traksi
Traksi adalah gerakan translasi tulang yang arah geraknya tegak lurus dan menjauhi bidang terapi sehimgga terjadi peregangan sendi, biasanya dapat mengurangi nyeri pada sendi,
3)      Kompresi
Kompresi adalah gerakan translasi tulang yang arahnyategak lurus tetapi kedua pernukaan sendi saling mendekati, biasanya akan menimbulkan nyeri (mudatsir, 2007).

Pelaksanaan Join Play movement :
Join Play dilakukan dengan pasien pada posisi tidur terlentang, rileks. Adapun gerakannya yaitu; backward glide of the humerus, forward glide of the humerus, lateral distraction of the humerus, caudal glide of the humerus, backward glide of the humerus in abduktion, lateral distraktion of the humerus in abduktion, anterior posterior dan cepalo caudal movement the clavicula in acromio clavicula, anterior posterior dan cepalo caudal movement the clavicula in sterno clavicula, dan general movement of the scapula (magee).

3.       Etiologi
Etiologi dari frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva masih belum diketahui dengan pasti. Adapun faktor predisposisinya antara lain periode immobilisasi yang lama, akibat trauma, over use, injuries atau operasi pada sendi, hyperthyroidisme, penyakit cardiovascular,clinical depression dan Parkinson.
Adapun beberapa teori yang dikemukakan AAOS  tahun 2007 mengenai frozen shoulder, teori tersebut adalah :
a.       Teori hormonal.
Pada umumnya frozen shoulder terjadi 60% pada wanita bersamaan dengan datangnya menopause.
b.      Teori genetik.
Beberapa studi mempunyai komponen genetik dari frozen shoulder, contohnya ada beberapa kasus dimana kembar identik pasti menderita pada saat yang sama.
c.       Teori auto immuno.
Diduga penyakit ini merupakan respon auto immuno terhadap hasil-hasil rusaknya jaringan lokal.
d.      Teori postur.
Banyak studi yang belum diyakini bahwa berdiri lama dan berpostur tegap menyebabkan pemendekan pada salah satu ligamen bahu.
4.   Patologi
Kapsul sendi terdiri dari selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalamnya terbentuk dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak dan sinovium, yang berbentuk suatu kantong yang melapisi seluruh sendi, dan membungkus tendon-tendon yang melintasi sendi, sinovium tidak meluas melampaui permukaan sendi tetapi terlipat sehingga memungkinkan gerakan secara penuh. Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental yang membasahi permukaan sendi. Cairan sinovium normalnya bening, tidak membeku, tidak berwarna. Jumlah yang di permukaan sendi relative kecil (1-3 ml). Cairan sinovium juga bertindak sebagai sumber nutrisi bagi tulang rawan sendi. Capsulitis adhesiva merupakan kelanjutan dari lesi rotator cuff, karena terjadi peradangan atau degenerasi yang meluas ke sekitar dan ke dalam kapsul sendi dan mengakibatkan terjadinya reaksi fibrous. Adanya reaksi fibrous dapat diperburuk akibat terlalu lama membiarkan lengan dalam posisi impingement yang terlalu lama (Appley, 1993).
Sindroma nyeri bahu sangat komplek dan sulit untuk diidentifikasi satu persatu bagian secara detail. Guna memahami penyebab dan patologi sindroma nyeri bahu, maka dapat dikelompokkan menjadi:
a.   Faktor Penyebab:
1)   Faktor penyebab gerak dan fungsi, yang terkait dengan aktifitas gerak dan struktur anatomi
2)  Faktor penyebab penyebab secara neurogenik yang berkaitan dengan keluhan neurologik yang menyertai baik secara langsung maupun tidak langsung yang berupa nyeri rujukan.
b.   Berdasarkan sifat keluhan nyeri bahu dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
(a)  Kelompok spesifik, mengikuti pola kapsuler dan
(b)  Kelompok tidak spesifik sebagai kelompok yang bukan mengikuti pola kapsuler.
5.   Tanda dan gejala
a.   Nyeri
Pasien berumur 40-60 tahun, dapat memiliki riwayat trauma, seringkali ringan, diikuti sakit pada bahu dan lengan nyeri secara berangsur-angsur bertambah berat dan pasien sering tidak dapat tidur pada sisi yang terkena. Setelah beberapa lama nyeri berkurang, tetapi sementara itu kekakuan semakin terjadi, berlanjut terus selama 6-12 bulan setelah nyeri menghilang. Secara berangsur-angsur pasien dapat bergerak kembali, tetapi tidak lagi normal ( Appley,1993 ).
b.      Keterbatasan Lingkup gerak sendi
Capsulitis adhesive ditandai dengan adanya keterbatasan luas gerak sendi glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif maupun pasif. Ini adalah suatu gambaran klinis yang dapat menyertai tendinitis, infark myokard, diabetes melitus, fraktur immobilisasi berkepanjangan atau redikulitis cervicalis. Keadaan ini biasanya unilateral, terjadi pada usia antara 45–60 tahun dan lebih sering pada wanita.
Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus. Bila terjadi pada malam hari sering sampai mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya (abduksi), sehingga penderita akan melakukan dengan mengangkat bahunya (srugging) (Heru P Kuntono,2004).
c.       Penurunan Kekuatan otot dan Atropi otot
Pada pemeriksaan fisik didsapat adanya kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya (abduksi) karena penurunan kekuatan otot. Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus, bila terjadi pada malam hari sering menggangu tidur. Pada pemeriksaan didapatkan adanya kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya (abduksi), sehingga penderita akan melakukandengan mengangkat bahunya (srugging). Juga dapat dijumpai adanya atropi bahu (dalam berbagaoi tingkatan). Sedangkan pemeriksaan neurologik biasanya dalam batas normal (Heru P Kuntono, 2004).
d.      Gangguan aktifitas fungsional
Dengan adanya beberapa tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva seperti adanya nyeri, keterbatasan LGS, penurunan kekuatan otot dan atropi maka secara langsung akan mempengaruhi (mengganggu) aktifitas fungsional yang dijalaninya.
4.      Komplikasi.
Pada kondisi frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva yang berat dan tidak dapat mendapatkan penanganan yang tepat dalam jangka waktu yang lama, maka akan timbul problematik yang lebih berat antara lain : (1) Kekakuan sendi bahu (2) Kecenderungan terjadinya penurunan kekuatan otot-otot bahu (3) Potensial terjadinya deformitas pada sendi bahu (4) Atropi otot-otot sekitar sendi bahu (5) Adanya gangguan aktifitas keseharian (AKS).
5.      Diagnosis banding
Kekakuan pasca trauma setelah setiap cedera bahu yang berat, kekakuan dapat bertahan beberapa bulan. Pada mulanya kekurangan ini maksimal dan secara berangsur-angsur berkurang, berbeda dengan pola bahu beku ( Appley,1993)
Kondisi pembanding dari kondisi Frozen shoulder yang diakibatkan capsulitis adhesiva antara lain: 1) Bursitis subacromial, 2) Tendinitis bicipitalis 3) Lesi rotator cuff

B.     Problematika Fisioterapi.
Adapun berbagai macam gangguan yang ditimbulkan dari frozen shoulder adalah sebagai berikut :
1.   Impairment.
Pada kasus frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva permasalahan yang ditimbulkan antara lain adanya nyeri pada bahu, keterbatasan lingkup gerak sendi dan penurunan kekuatan otot di sekitar bahu.
2.   Functional limitation.
Masalah-masalah yang sering ditemui pada kondisi-kondisi frozen shoulder adalah keterbatasan gerak dan nyeri, oleh karena itu dalam keseharian sering ditemukan keluhan-keluhan seperti tidak mampu untuk menggosok punggung saat mandi, menyisir rambut, kesulitan dalam berpakaian, mengambil dompet dari saku belakang kesulitan memakai breast holder (BH)  bagi wanita dan gerakan-gerakan lain yang melibatkan sendi bahu (Appley, 1993).
3.   Participation restriction.
Pasien yang mengalami frozen shoulderakan menemukan hambatan untuk melakukan aktifitas sosial masyarakat karena keadaannya, hal ini menyebabkan pasien tersebut tidak percaya diri dan merasa kurang berguna dalam masyarakat, tapi pada umumnya frozen shoulder jarang menimbulkan disability atau kecacatan.

C.    Teknologi Interfensi Fisioterapi
1.   Diatermi gelombang pendek  (Short Wave Diathermy/ SWD)
Short wave diathermy merupakan suatu pengobatan dengan menggunakan stressor berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak- balik frekuensi 27, 12 MHz, dengan panjang gelombang 11m.
Efektifitas dalam penggunaan SWD ditentukan oleh penentuan intensitas dan dosis.Intensitas ditentukan oleh perasaan penderita terhadap panas yang diterimanya. Besar kecilnya intensitas bersifat subjektif tergantung sensasi panas yang diterima pasien oleh karena itu antara orang satu dengan lainnya mungkin bisa berbeda intensitas SWD yang diberikan . Menurut schliphake, intensitas dibagi menjadi empat tingkat yaitu : (a) Intensitas submitis (penderita tidak merasakan panas), (b) Intensitas mitis (penderita merasakan sedikit panas), (c) Intensitas normalis (penderita merasakan hangat yang nyaman), (d) Intensitas fortis (Penderita merasakan panas yang kuat, tapi masih bisa ditahan).
Tujuan terapi panas yang dihasilkan pada pemberian SWD ini adalah:
a)      Mengurangi nyeri
Adanya gejala nyeri menunjukkan dalam keadaan tidak normal. Jaringan tersebut merupakan sumber nyeri, keadaan yang tidak normal tadi memberikan iritasi kepada reseptor nyeri. Stimulus tadi selanjutnya akan dihantarkan oleh serabut “C” tanpa myelin (nyeri tumpul, lamban, diffuse) atau serabut “A” delta bermielin (nyeri tajam, cepat). Panas yang diberikan akan memberikan efek sedative karena adanya kenaikan nilai ambang nyeri.karena adanya vasodilatasi akan memperlancar pembuangan zat “pain producing substance” (Sri Mardiman, 1989).

b)      Memberikan relaksasi otot- otot spasme
Nyeri bahu akan merangsang reaksi protektif dari tubuh berupa spasme otot- otot sekitar bahu. Ini dimaksudkan untuk memfiksir sendi bahu agar tidak bergerak, yang selanjutnya akan terhindar rasa nyeri. Reaksi spasme itu sendiri akan menghambat sistem peredaran darah setempat yang mengakibatkan terhambatnya reorgnisasi jaringan dan “pain producing substance”. Hal ini akan menambah nyeri, sehingga siklus yang tidak menguntungkan, sel-sel abnormal yang menyebabkan bengkak dan nyeri oleh pengaruh medan magnit yang ditimbukan oleh gelombang pulsa SWD, sel-sel abnormal dapat dinormalkan (Sri Mardiman,  1989).
Syarat-syarat untuk menentukan indikasi pemberian terapi dengan SWD:
1)      Stadium dari penyembuhan luka
2)      Sifat dari jaringan atau organ yang mengalami kerusakan
3)      Lokalisasi dari jaringan/ organ yang mengalami kerusakan
2.                  Terapi Manipulasi
Terapi manipulasi adalah suatu gerakan pasif yang digerakkan dengan tiba- tiba, amplitude kecil dan kecepatan yang tinggi, sehingga pasien tidak mampu menghentika  gerakan yang terjadi ( Mudatsir, 2007 ).
Tujuan mobilisasi sendi adalah untuk mengembalikan fungsi sendi normal dan tanpa nyeri. Secara mekanis, tujuannya adalah untuk memperbaiki joint play movement dan dengan demikian memperbaiki roll-gliding yang terjadi selama gerakan aktif. Terapi manipulasi harus diakhiri apabila sendi telah mencapai LGS maksimal tanpa nyeri dan pasien dapat melakukan gerakan aktif dengan normal (Heru  P Kuntono, 2007).
Gerakan translasi (traksi dan gliding) dibagi menjadi tiga gradasi. Gradasi gerakan ini ditentukan berdasarkan tingkat kekendoran (slack) sendi yang dirasakan fisioterapis saat melakukan gerakan pasif seperti yang ditunjukkan pada Grade I         
Grade I traksi merupakan gerakan dengan amplitudo sangat kecil sehingga tidak sampai terasa adanya geseran permukaan sendi. Kekuatan gaya tarik yang diberikan sebatas cukup untuk menetralisir gaya kompresi yang bekerja pada sendi.
Kombinasi antara tegangan otot, gaya kohevisitas kedua permukaan sendi dan tekiri atmosfer menghasilkan gaya kompresi pada sendi.
Grade II traksi dan gliding gerakan sampai terjadi slack taken up jaringan di sekitar persendian meregang.
Grade III traksi dan gerakan sampai diperoleh slack taken up kemudian diberi gaya lebih besar lagi sehingga jaringan di sekitar persendian teregang.

Traksi untuk memperbaiki luas gerak sendi:
Traksi mobilisasi grade III efektif untuk memperbaiki mobilitas sendi karena dapat meregang (streatch) jaringan lunak sekitar persendian yang memendek. Traksi-mobilisasi dipertahamkan selama 7 detik atau lebih dengan kekuatan maksimal sesuai dengan toleransi pasien. Antara dua traksi yang dilakukan, traksi tidak perlu dilepaskan total keposisi awal melainkan cukup diturunkan kegrade II dan kemudian lakukan traksi grade III lagi. (Mudatsir S, 2002).
3.   Terapi Latihan.
Adapun metode yang digunakan adalah :
a.       Active exercise
Latihan aktif disini bertujuan untuk menjaga serta menambah lingkup gerak sendi (LGS).Disini penulis memberikan latihan dengan menggunakan metode free active exercise.Gerakan dilakukan oleh kekuatan otot penderita itu sendiri dengan tidak menggunakan suatu bantuan dan tahanan yang berasal dari luar.Latihan ini bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun penderita berada.

b.      Overhead pulley
Tujuan dari pemberian overhead pulley adalah untuk menambah lingkup gerak sendi dan meningkatkan nilai kekuatan otot dengan bantuan alat ini. Dengan adanya gerakan yang berulang-ulang maka akan terjadi penambahan lingkup gerak sendi serta menjaga dan menambah kekuatan otot jika diberi beban (Kisner, 1996).

c.       Codman pendulum exercis.
Codman pendulumexercise dilakukan pada stadium akut.
1)   Tujuan :
Untuk mencegah perlengketan pada sendi bahu dengan melakukan gerakan pasif sedini mungkin yang dilakukan pasien secara aktif.
Gerakan pasif dilakukan untuk mempertahankan pergerakan pada sendi & mencegah pelengketan permukaan sendi. Sedangkan pencegahan gerakan aktif adalah untuk mencegah terjadinya kontraksi otot- otot rotator cuff & abductor bahu
2)   Cara melakukan:
Pasien membungkukkan badan  dan lengan yang sakit tergantung vertical. Posisi ini menyebabkan lengan fleksi 90۫  pada bahu tanpa adanya kontraksi otot- otot deltoid maupun rotator cuff. Gravitasi / gaya tarik bumi menyebabkan pemisahan permukaan sendi glenohumeral sehingga kapsul sendi tersebut akan memanjang. Lutut pasien dalam keadaan fleksi untuk mencegah timbulnya gangguan pada pinggang.